Selasa, 07 Juli 2009

Kecamatan Tegallalang

Kecamatan Tegallalang merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, dan terletak pada ketinggian 225 - 975 meter dari permukaan laut antara 8° 19’40” - 8°29’38” Lintang Selatan dan 115°15’18,8” - 115°19’49,8” Bujur Timur, dengan suhu maksimum 30˚C dan suhu minimum 24˚C, dengan luas wilayah 61,8 km2. Jumlah penduduk Kecamatan Tegallalang adalah 40.494 jiwa, terdiri dari laki-laki 19.420 jiwa dan perempuan 20.398 jiwa. Kepadatan penyebarannya rata-rata 655 jiwa/km2.
Kecamatan Tegallalang terbagi atas tujuh desa, sebagai berikut:
1. Desa Keliki
2. Desa Tegallalang
3. Desa Kenderan
4. Desa Kedisan
5. Desa Pupuan
6. Desa Sebatu
7. Desa Taro
Kantor Camat Tegallalang terletak di pusat Kecamatan Tegallalang. Letak Kantor Camat Tegallalang cukup strategis di mana dapat dijangkau dari tujuh desa yang ada, hal ini karena ditunjang oleh prasarana jalan yang melalui Kecamatan cukup memadai dan juga sarana transportasi untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan telah tersedia dengan baik. Kecamatan Tegalalang merupakan salah satu dari 7 kecamtan yang ada di Kabupaten Gianyar, Kantor Camat Tegallalang terletak 16,25 km dari pusat kota Gianyar.
Secara administratif Kecamatan Tegallalang mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bangli
2. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tampaksiring
3. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ubud
4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Payangan
Kecamatan Tegallalang merupakan daerah sentra industri rumah tangga dan perdagangan barang-barang kerajinan khas Bali. Keadaan tersebut menuntut Pemerintah Kecamatan Tegallalang untuk meningkatkan kemampuan, mutu dan tingkat pelayanannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pemerintahan yang telah didelegasikan.

Subak

Menurut Poerwanto (2008 : 257), ”Subak merupakan kesatuan dari para pemilik dan penggarap sawah yang menerima air tertentu.”Menurut Sepe (2000 : 1) , “Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia.”
Menurut Korn (1932 : 59) dalam Sirtha (2008 : 13) menyatakan bahwa “Subak sebagai badan hukum yang kelihatan dari kekayaan yang dimilikinya berupa uang, beberapa bidang tanah kering dan basah, puura serta bangunan kecil untuk berapat.” Selanjutnya Sutha (1978 : 7) dalam Pitana dkk (1993 : 68) menggunakan istilah “perSubakan” sebagai sebutan untuk Subak. Dikemukakan lebih lanjut bahwa :
PerSubakan sebagai suatu organisasi kemasyarakatan yang disebut Seka Subak adalah suatu kesatuan sosial yang teratur dimana para anggotanya merasa terikat satu sama lain karena adanya kepentingan bersama dalam hubungannya dengan pengairan untuk persawahan, mempunyai pimpinan (pengurus) yang dapat bertindak ke dalam maupun ke luar serta mempunyai harta baik material maupun immaterial.

Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan Dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali. Sumarta (1992 : 3), menyatakan bahwa :
Subak di bali di perkirakan sudah ada sejak abad ke -9 buktinya dengan adanya istilah huma dan makah aser dalam prasasti-prasasti Bali periode abad tersebut. Kata huma sama artinya dengan kata sawah, sedangkan kata makah aser di perkirakan bentukan awal kata pekaseh yang kini di kenal di Bali untuk sebutan pemimpin puncak organisasi Subak. Istilah Subak diduga berasal dari kata kasuwakan, sebagaimana tersurat dalam prasasti Raja Purana di Klungkung yang berangka tahun Saka 994 ( = 1072 Masehi).

Menurut Sutawan, dkk. (1986) dalam Sutawan (2008 : 22) menyatakan bahwa :
Subak dapat didefinisikan sebagai organisasi petani pemakai yang sawah-sawah para anggotanya memperoleh air dari sumber yang sama dan mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul serta mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri), maupun keluar dalam arti kata bebas mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri.

Selanjutnya Sumarta (1992 : 6) menyatakan, “Subak bukanlah hanya hamparan sawah mempesona, substansi organisasi Subak lebih dari pada sekedar rentetan ritus, di dalamnya juga ada manajemen, musyawarah, demokrasi, partisipasi, keuletan, dan tentu ketebalan rasa kebersamaan yang dalam terminologi umum disebut gotong royong.”
Di Bali Subak memang mengupayakan kontinyuitas keharmonisan tiga dimensi yang menjadi falsafah hidupnya, yakni ; harmoni vertikal berwujud bhakti kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta. Harmoni horizontal, berwujud asah-asih-asuh terhadap manusia sebagai sumbu penggerak kedinamisan organisasi, dan haroni berwujud rungu (perhatian) dengn alam lingkungan sekelilingnya. Ketiga dimensi inilah dalam alam makro Subak diterjemahkan berupa tempat suci, anggota organisasi, dan sawah yang dikelola organisasi. Sirtha (2008 : 53) menyatakan bahwa :
Sistem irigasi Subak didasarkan pada filosofis Tri Hita Karana, yaitu Tri (tiga), Hita (kemakmuran, kebahagiaan), Karana (penyebab), sehingga kata Tri Hita Karana mengandung arti tiga penyebab untuk mencapai kemakmuran atau kebahagiaan. Secara lebih luas Tri Hita Karana itu mengandung arti bahwa ada tiga unsur yang dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, kemakmuran, sejahtera dan kebahagiaan, yaitu tiga dimensi keharmonisan. Ketiga unsur keharmonisan itu adalah
1. keharmonisan terhadap Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), sebagai pencipta jagat raya beserta isinya ;
2. Keharmonisan terhadap Bhuana atau alam semesta beserta segala isinya yang merupakan unsur kehidupan dan penhidupan manusia ;
3. keharmonisan terhadap sesama manusia.

Organisasi Subak, di dalamnya ketiga komponen tersebut memiliki hubungan timbal balik. Wujud ketiga hubungan komponen Tri Hita Karana dalam organisasi Subak diungkapkan oleh Sutawan (1986) dalam Windia (2006: 2) :
“Gatra Parhyangan ditunjukkan dengan adanya pura pada wilayah Subak dan pada setiap komplek/blok pemilikan sawah petani, gatra Palemahan ditunjukkan dengan adanya kepemilikan wilayah untuk setiap Subak, dan gatra Pawongan ditunjukkan dengan adanya organisasi petani yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, adanya anggota Subak, pengurus Subak, dan pimpinan Subak yang umumnya dipilih dari anggota yang memilki kemampuan spiritual. Ketiga gatra Tri Hita Karana memiliki hubungan timbal balik dan dapat digambarkan seperti pada gambar :”